Eksplorasi di Tanah Baduy: Jejak Lima Peneliti Muda Oleh Kelas 9C

      

     Di suatu siang, berkumpulah 5 mahasiswa semester 5 yang ingin melakukan suatu penelitian terhadap kearifan lokal. Mahasiswa itu bernama Anin, Reza, Kinan, Vira, dan Dhika. Mereka ber 5 merupakan mahasiswa FIB (Fakultas Ilmu Budaya).

        “Hei, tugas penelitiannya mau seperti apa?” tanya Kinan.

         “Hmm… Kalau dilihat-lihat… Ngga kelihatan! HAHAHA-“ canda Reza.

         “Jangan kebanyakan bercanda, Za,” timpal Dhika dengan tatapan sinis.

         “Sudah-sudah, bogeyman jika Suku Baduy?” tanya Anin.

          “Ah iya! Kemarin saat aku sedang menonton TikTok, ada satu postingan tentang Suku Baduy!” seru Vira.

          Vira pun memperlihatkan postingan yang dia maksudkan kepada teman temannya.

        “Wah, terlihat sangat menarik, ya!” seru Kinan. “Boleh juga, nih,” tambah Dhika.

         Mereka pun sepakat menjadikan Suku Baduy sebagai objek penelitiannya. Hari yang mereka tentukan akhirnya telah tiba. Anin dan keempat temannya berkumpul di Bandara YIA, mereka berkumpil di bandara pukul 09.00 pagi. Mereka semua sangat menantikan hari ini, terlihat dari raut wajahnya yang nampak sumringah dan semangat.             

        “Penumpang Pesawat Nusantara Air dengan nomer penerbangan 007 tujuan Jakarta, dipersilahkan segera menaiki pesawat udara melalui pintu 2.” Pemberitahuan dari pihak bandara.

          Lalu mereka segera menuju ke dalam pesawat dan duduk sesuai nomer kursi yang tercantum pada tiket.

          Setelah satu jam di udara. Akhirnya pesawat tersebut Landing di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

          “ Huftt… Boyokku pegel tenan lek!” ucap Reza sambil memegang pinggangnya.

          “Halah! Cah lanang kok kakehan sambat,” ejek Vira sambil menepuk pundak Reza.

          “Sabar…. Setengah jalan lagi kita sampai kok,” ucap Kinan.

          Dari Bandara mereka melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir menuju Kota Serang. Setelah sampai di Kota Serang, mereka memesan mobil elf lokal untuk menuju Ciboleger, yang merupakan pintu gerbang dari Suku Baduy.

         “Fyuhh….akhirnya sampai juga,” ucap Dhika.

         “Yuk, yang semangat yuk!” kata Anin.

         Jarak pintu gerbang dengan pemukiman penduduk lumayan jauh, mereka harus menempuh jarak 700 meter dengan berjalan kaki. Sekitar jam 15.00 WIB akhirnya mereka samapai di pemukiman Baduy Luar. Terlihat banyak rumah- rumah adat Suku Baduy yang bernama Sulah Nyanda dan beberapa yang sedang beraktivitas, seperti menenun, berjualan, dan mengumpulkan kayu bakar. Pakaian yang mereka kenakan berwarna hitam dan ikat kepala berwarna biru yang biasa disebut dengan Jamang Sangsang.

         “Yeay…. Sampai juga di Baduy Luar!!” ucap Vira lega.

         Mereka pun segera mengunjungi rumah tetua untuk meminta izin dan untuk diberikan arahan. Tetua disana memberitahukan aturan-aturan yang ada di Suku Baduy Luar.

         “Kalian disini harus menaati aturan-aturan yang berlaku, seperti menjaga kondisi alam, perempuan dan laki-laki harus bisa menjaga jarak satu sama lain, dan yang terpenting tidak boleh melewati batas wilayah yang telah ditentukan. MENGERTI!” tuntut tetua dengan tegas.

        “Ba-Baik, pak…” jawab mereka sembari menunduk dengan tubuh yang bergetar.

       Mereka diarahkan oleh warga setempat untuk pergi ke tempat peristirahatan. Keesokan harinya, mereka meneliti kearifan lokal yang ada di Suku Baduy. Tetapi sebelum itu, ada seorang wanita tua mengenakan pakaian adat Jamang Sangsang, ia menawarkan mereka beberapa makanan khas Suku Baduy.

        “Sarapan dulu sini, dek… Ibu punya jojorong dan kue balok menes,” ucap wanita tua itu.

        “Tidak usah repot-repot, buk..” ucap Dhika lembut.

         “Tidak usah malu-malu dhik, ditawarin kok nolak. Tidak boleh tahu menolak pemberian orang,” timpal Reza dengan nada jahilnya.

          Wanita tua itu terkekeh melihat tingkah anak-anak tersebut. Ia menggelar tikar untuk mereka, dan menaruh beberapa makanan di sana. Mereka duduk dan memakan makanan tersebut dengan lahap.

         “Wah, ini sangat enak! Kalau boleh tahu, jojorong ini terbuat dari apa ya, bu?” tanya Kinan.

        “Jojorong memang memiliki tekstur yang lembut dan sensasi manis saat gigitan pertama. Jojorong sendiri terbuat dari campuran tepung kanji, tepung beras, dan gula merah,” Jawab wanita itu.

       “Ohh, pantas saja memiliki rasa yang enak!” seru Anin.

       “Kalau yang berbentuk potongan balok ini apa ya, bu?” tanya Dhika.

       “Kalau yang itu namanya kue balok menes, dek. Makanan itu memiliki tekstur yang lembut dan kenyal di mulut. Kue ini berbahan dasar dari tanaman singkong,” jelas wanita tua itu.

         Setelah mereka menghabiskan makanan tersebut, kelima mahasiswa itu pun berterimakasih kepada wanita tua itu dan melanjutkan penelitian di Suku Baduy. Ditengah-tengah penelitian, ada seorang warga yang mengundang mereka untuk mengikuti Upacara Seba.

         Upacara tersebut merupakan upacara yang dilakukan dalam rangka menyampaikan rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah dalam satu tahun. Upacara ini dilakukan setiap tahun yang didalamnya ada prosesi silahturahmi antar masyarakat Suku Baduy dengan pemerintah setempat. Tradisi Seba ini dilakukan di dua tempat yaitu Pendopo Kabupaten Lebak dan di Kota Serang. Acara tersebut menghabiskan waktu yang cukup lama, pada malam harinya mereka mengunjungi salah satu rumah warga untuk menanyakan fakta fakta mengenai Suku Baduy untuk laporan penelitian.

        “Permisi Pak Martin, maaf mengganggu waktunya, di sini kami ingin meminta izin untuk mewawancarai mengenai Suku Baduy. Apa boleh?”ucap Dhika dengan sopan.

        “Oh…boleh, nak. Silahkan….” ucap pemilik rumah tersebut.

        “Kami mendengar tentang Tanah Kanekes dari beberapa masyarakat Indonesia, bahwa Tananh Kanekes merupakan wilayah keramat. Apa benar itu, pak?” tanya Kinan.

        “Betul, nak.. Jadi, Tanah Kanekes itu memang merupakan satu wilayah keramat yang bertujuan untuk mempertahankan kemurnian budaya Suku Baduy.” Jawab Pak Martin.

       “Oh…. jadi memang benar adanya ya pak?” jawab kelima mahasiswa tersebut.

       “Ya, nak,” Jawab Pak Martin.

       “Masyarakat di suku baduy menganut kepercayaan apa ya pak?” tanya Anin.

       “Warga disini menganut kepercayaan yang bernama sunda wiwitan. Kepercayaan tersebut mempercayai keberadaan Tuhan dan malaikat, serta para nabi. Kehidupan Suku Baduy sangat sederhana dan menjaga kelestarian alam,” ucap Pak Martin.

      “Berarti hampir mirip dengan agama-agama yang ada di Indonesia ya, pak?” tanya Reza.

      “Kalau tentang kepercayaannya memang sama, nak. Tetapi, tata ibadahnya yang berbeda. Di sini kami beribadah hanya di hari-hari tertentu saja, dengan mengunjungi Pamunjungan yang berada di wilayah perbukitan. Di sana kami akan melantunkan kidung atau nyanyian lengkap dengan beberapa gerakan tari,” jelas Pak Martin.

      Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, mereka berterimakasih dan berpamitan pulang ke tempat peristirahatan.

      Pagi hari pun telah tiba, mereka mengikuti kegiatan menenun yang biasannya dilakukan oleh para wanita di Suku Baduy. Mereka kemudian menenun di rumah Surti, disana mereka diajarkan beberapa teknik dan cara menenun oleh para penenun di sana.

      “Apa sebutan kain tenun dari Suku Baduy ini bu?” tanya Vira.

      “Kain tenun ini biasannya disebut dengan Tenun Suat Songket nak. Tenun ini biasannya digunakan sebagai ikat pinggang untuk menahan kain poleng yang di pakai sebagai bawahan,” Jelas salah satu penenun.

      Setelah mengikuti kegiatan menenun, mereka membeli cendera mata seperti gelang, kain, dan gantungan kunci buatan warga lokal. Lalu, mereka berkeliling di daerah tersebut di pandu oleh warga setempat. Mereka diperlihatkan batas-batas wilayah yang telah ditentukan berupa gapura. Setelah puas berkeliling, mereka akhirnya pulang untuk beristirahat. Saat Vira, Anin, Kinan, dan Dhika tertidur, Reza dengan rasa ingin tahunya yang tinggi, ia pun mengelilingi daerah tersebut dan tanpa sengaja melewati batas wilayah yang telah ditentukan.

      “Duh! Lah, iku gapurane, aku wis ngelewati batase!” seru Reza panik.

      Reza pun dengan panik berlari menuju ke tempat mereka menginap untuk menanyakan solusi kepada teman-temannya.

      “Heh… cah iki piye? Tanya Reza dengan panik kepada teman-temannya.

      “Piye…opo?” tanya Vira.

      “Aku ra sengojo ngelewati batas wilayah. Ceritane aku mau mlaku mlaku, terus ora sengaja ngelewati gepura kae,” jelas Reza dengan wajah bingungnya.

      “Gini aja, sekarang kita pergi ke rumah tetua.buat cari solusi,” sahut Dhika.

      Mereka pun mendatangi rumah tetua saat itu juga. Anin mengetuk pintu rumah tetua. Selang beberapa waktu, terlihat sesosok laki laki tua keluar dari dalam rumah tersebut.

      “Ada apa kalian kesini?” tanya tetua tegas.

      “Ja-jadi begini, pak. Tadi se-secara tidak sengaja saya melewati batas yang te-telah ditentukan…” ucap Reza terbata-bata.

      “Kok bisa! Apa yang sudah kamu lakukan?!” seru tetua itu terkejut.

      “Tadi s-saya tidak sengaja ketika berjalan-jalan melewati batas yang telahbdi tentukan,” jelas Reza ketakutan.

      Tetua tersebut menghela napas berat. Dengan raut wajah marah, tetua memerintahkan Reza untuk melakukan mediasi di sana. Reza yang ketakutan langsung menurutinya. Setelah 1 jam, akhirnya Reza telah menyelesaikan mediasi dan mengucapkan maaf serta berterimakasih kepada tetua dan para warga yang telah membantu. Dan tetua tersebut memberikan peringatan tegas kepada mereka supaya menaati peraturan yang ada disitu.

     Lalu mereka pun kembali ke tempat peristirahatan dan berkemas-kemas, sebab keesokan harinya mereka akan pulang kembali ke Yogyakarta. Tepat pukul 06.00 pagi, mereka pun berpamitan kepada warga setempat dan mengucapkan terimakasih untuk segala bantuan yang telah diberikannya. Setelah itu pun mereka berjalan 700 meter untuk sampai ke pintu keluar Suku Baduy. Lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju stasiun yang ada di Kota Serang dan menggunakan elf lokal.

      Setelah menempuh perjalanan yang panjang, akhirnya mereka telah sampai di Kota Yogyakarta. Tak lupa mereka menyusun laporan penelitian yang menyatakan bahwa kearifan budaya di Indonesia sangatlah beragam, salah satunya di Suku Baduy.

      Dari perjalanan kemarin, mereka belajar bahwa di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung tinggi. Yang memiliki makna bahwa seseorang sudah sepatutnya menghormati adat-istiadat yang berlaku di tempat ia berada.

Ditulis oleh; Kelas 9C

Dipost oleh; Seksi Teknologi dan Informasi

 

Tinggalkan Balasan